Sebagai bagian dari upaya mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang lebih modern, efisien, efektif, dan transparan, pemerintah telah menghadirkan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) sebagai instrumen pembayaran belanja negara. Kehadiran KKP menjadi langkah strategis dalam mendukung pelaksanaan anggaran, sekaligus memperkuat prinsip akuntabilitas dan transparansi yang menjadi fondasi pengelolaan APBN. Namun, penggunaan KKP ini juga membawa serta berbagai risiko dan tantangan yang perlu dicermati bagi seluruh pihak di satker pengguna KKP.
Manfaat dan Keunggulan: Efisiensi dan Akuntabilitas Dari perspektif teoretis, implementasi KKP menawarkan berbagai keunggulan yang signifikan, terutama dalam konteks efisiensi dan akuntabilitas.
Pertama, efisiensi proses. Penggunaan KKP mengurangi birokrasi yang melelahkan. Satker tidak perlu lagi mencairkan uang tunai dalam jumlah besar melalui proses yang panjang dan berisiko. Transaksi dapat dilakukan secara langsung, yang mempercepat realisasi anggaran dan memastikan ketersediaan dana saat dibutuhkan. Konsep delay of payment yang memungkinkan dana ditarik dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) hanya saat tagihan jatuh tempo juga mengoptimalkan manajemen kas negara secara makro.
Kedua, peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Setiap transaksi KKP tercatat secara digital, menciptakan jejak audit yang jelas dan tidak dapat dimanipulasi. Data ini terintegrasi langsung dengan sistem perbendaharaan, memudahkan bendahara dan auditor untuk memantau, memverifikasi, dan merekonsiliasi setiap pengeluaran secara real-time. Dengan demikian, potensi penyalahgunaan anggaran dapat diminimalisir secara signifikan.
Ketiga, pengurangan risiko keamanan. KKP menghilangkan kebutuhan untuk menyimpan dan membawa uang tunai dalam jumlah besar, yang secara langsung mengurangi risiko kehilangan, pencurian, atau penyelewengan dana.
Risiko dan Tantangan: Isu Krusial yang Perlu Diperhatikan Meskipun memiliki banyak keunggulan, implementasi KKP juga tidak lepas dari risiko dan tantangan yang memerlukan perhatian serius dari para pembuat kebijakan dan pelaksana di lapangan.
Pertama, risiko penyalahgunaan. Meskipun sistemnya dirancang untuk akuntabel, tetap ada risiko bahwa pemegang KKP dapat menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau pengeluaran yang tidak sesuai dengan peruntukan. Kontrol internal yang lemah atau pengawasan yang kurang ketat dapat membuka celah untuk penyimpangan. Oleh karena itu, diperlukan sanksi yang tegas dan mekanisme pengawasan yang berlapis.
Kedua, tantangan literasi digital dan adaptasi. Tidak semua Satker, terutama yang berada di daerah terpencil, memiliki tingkat literasi digital yang memadai. Kurangnya pemahaman tentang cara kerja KKP, sistem pelaporan, dan keamanan digital dapat menjadi hambatan besar. Pelatihan yang masif dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Ketiga, keterbatasan infrastruktur. Ketersediaan mesin Electronic Data Capture (EDC) atau sistem pembayaran digital di seluruh wilayah Indonesia belum merata. Hal ini bisa menjadi kendala bagi Satker yang beroperasi di daerah yang infrastruktur digitalnya masih minim, memaksa mereka kembali ke sistem pembayaran konvensional.
KKP adalah langkah maju yang esensial dalam reformasi manajemen keuangan publik, yang menawarkan solusi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas belanja negara. Namun, pendekatan yang komprehensif diperlukan untuk mengelola risiko dan mengatasi tantangan yang menyertainya. Keberhasilan KKP tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada penguatan sistem kontrol internal, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan penyempurnaan regulasi. Dengan demikian, KKP dapat menjadi instrumen yang benar-benar transformatif, bukan hanya sekadar alat pembayaran, melainkan pilar penting dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang modern, transparan, dan akuntabel. (*).
Oleh Mukhamad Basori - JF PTPN KPPN Purwodadi

.jpg)